Memaafkan adalah amalan yang baik bahkan untuk menurut seluruh agama. Namun di tengah maraknya kegiatan keagamaan, justru amalan ini seperti menemui jalan buntu di kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Ingat tidak dengan tragedi kekerasan demi kekerasan yang ada di negara khususnya di awal berdirinya negara ini? Pokoknya yang motifnya menentang Pemerintahan.
Para pelaku kekerasan ini biasanya disebut pemberontak. Para pemberontak memiliki motif untuk mengambil alih kekuasaan sebagian atau seluruhnya dengan jalan-jalan di luar konstitusi.
Karena motifnya politik tentu saja ada yang membela dan ada pula yang menentang. Perkara pemberontakan di Indonesia inipun sama. Ada dua kubu. Sayangnya dua kubu ini sama-sama orang Indonesia.
Kita juga mahfum, bahwa pelaku pemberontak ini ada banyak kelompok dengan berbagai latar belakang dan berbagai masa. Namun ada kesamaannya, yaitu sama-sama punya pendukung dan penentang.
Kita tarik jauh ke belakang. Belanda datang, meskipun awalnya bermotif ekonomi, lama-lama mereka juga tergiur untuk ikut dalam politik lokal. Mereka membekingi salah satu pihak yang sedang bertikai lalu menguasai.
Hingga tanpa terasa kita terjajah selama 350 tahun, meskipun beberapa orang meyakini angka yang berbeda. Dengan kekuasaan yang diambil paksa selama ratusan tahun tersebut, pastilah menelan korban yang banyak sekali.
Setelah perang dunia, peta geopolitik dunia berubah. Secara mengejutkan ada kekuatan dari Timur yang memiliki tekad kuat menguasasi dunia. Iya itu namanya Jepang.
Tahu enggak Jepang adalah penjajah paling bengis dalam sejarah kolonialisme di Indonesia. Korban kekerasannya dari berbagai level. Jepang tidak segan mencabut kuku Hadratusy Syekh KH Hasyim Asyari. Pun tak ragu-ragu menebas kepala para ulama yang dihormati karena dianggap mengganggu kepentingan mereka di Indonesia.
Salanjutnya mari kita lihat sikap kita terhadap orang-orang Belanda dan Jepang di masa ini.
Tidak dipungkiri, di masa ini kita sangat mengagumi Jepang dengan berbagai kemajuan peradabannya, khususnya di bidang teknologi. Tidak hanya teknologi, sebagian besar penduduk Indonesia dibuat kagum dengan budaya orang Jepang. Bahkan kita semua bangga ketika berhasil menginjakkan kaki di daratan Jepang.
Lihat? Kita bisa sangat akur, dan bisa sangat menghormati orang yang nenek moyangnya pernah menjajah, pernah membunuh orang tua-orang tua kita dulu. Pernah menyiksa guru-guru kita.
Begitupun Belanda. Siapa sih di antara kita yang tidak bangga ketika bisa menimba ilmu di Belanda, atau siapa sih yang tidak kagum ketika melihat pencapaian seseorang bisa rapat dengan orang Belanda, duduk satu meja.
Pasti isinya senyum semua.
Nah kedua negara yang pendahulunya menjajah dan menyiksa pendahulu kita saja, kita mampu saling memaafkan, mampu membangun harmoni untuk kemajuan dunia.
Lalu bagaimana sikap kita dengan Eks Pemberontak yang pelakunya orang Indonesia?
Jangankan dengan pelaku pemberontakannya, bahkan kepada anak turunnya pun yang tidak tahu apa-apa, kita masih menyimpan rasa dendam.
Mereka orang tua kita, mereka saudara kita. Kenapa kita sulit sekali memaafkan. Setidaknya kalau tidak mampu memaafkan janganlah mewariskan dendam kepada anak cucu kita.
Dengan orang-orang Belanda yang menghisap kita selama ratusan tahun dan Jepang yang walaupun singkat tapi cukup menyiksa, kita mampu saling memaafkan, bahkan membanggakan dan ingin seperti mereka.
Terakhir, marilah kita saling memaafkan. Kita berdamai dengan masa lalu dan mari membangun masa depan bersama-sama.